Lhokseumawe | InfoLhokseumawe.com — Fenomena money politics (politik uang) mengancam integritas, asas jujur dan adil (Jurdil) menjelang pemungutan suara dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada 27 November 2024 mendatang.
Amriya Zanur, mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (FISIP-UNIMAL) mengajak seluruh masyarakat Aceh menolak segala bentuk iming-iming dengan pemberian uang atau barang untuk memilih kandidat tertentu dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota.
“Fenomena praktik politik uang yang marak terjadi menjelang Pilkada Aceh sangat merugikan sistem demokrasi yang ada di Aceh,” tulis Amriya dalam rilisnya kepada Info Lhokseumawe, Jumat (25/10/2024).
“Sejak awal hingga akhir masa kampanye pada 23 November mendatang, praktik politik uang sangat marak terjadi di kalangan masyarakat Aceh. Di seluruh wilayah Aceh, terutama di daerah-daerah terpencil yang paling umum terjadi, praktik politik uang ini,” katanya.
Amriya menyebutkan, motivasi utama politik uang adalah untuk meraih kemenangan dengan cara tidak terhormat, hal ini sangat mengurangi peran rakyat dalam pemilihan dan merusak integritas pemilihan itu sendiri.
“Politik uang juga menjadi tantangan yang serius karena berpotensi merusak demokrasi dan menodai prinsip pemilihan yang adil. Tidak hanya itu praktik politik uang juga bisa dikatakan sebagai bentuk suap yang legalitasnya sangat merusak tatanan demokrasi Aceh,” ungkapnya.
Menurutnya, praktik politik uang ini tidak hanya merusak tatanan demokrasi Aceh, akan tetapi juga berpengaruh pada timbulnya akar korupsi, dikarenakan para pemimpin yang terpilih melalui cara ini umumnya akan lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya dibandingkan dengan rakyat yang memilihnya.
“Hal ini mungkin terjadi karena mereka yang sudah terpilih dengan cara ini merasa berkewajiban untuk mengembalikan modal kampanye yang telah dikeluarkan, sehingga ketika sudah menjabat praktik korupsi seperti suap dan gratifikasi menjadi satu hal yang lazim,” beber Amriya.
Lebih jauh, ia menjelaskan, praktik politik uang ini dilakukan melalui berbagai cara, seperti memberikan uang tunai dan barang kepada pemilih atau janji menyuap seseorang dengan tujuan mendapatkan suara. Selain itu, terdapat juga kemungkinan penggunaan dana kampanye yang tidak transparan dan penyalahgunaan wewenang untuk mengalirkan dana politik secara ilegal.
Meski tindak pidana politik uang sudah diatur dalam Pasal 523 ayat (1) sampai dengan ayat (3) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu/Pilkada, yang dibagi dalam 3 kategori, yakni pada saat kampanye, masa tenang dan saat pemungutan suara.
“Namun pasal ini sepertinya tidak membuat efek jera bagi peserta Pemilu/Pilkada setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan masyarakat juga dianggap masih sangat pasif dalam mengawasi praktik-praktik politik uang untuk melaporkan kepada pihak Pengawas Pemilu/Pilkada atau pihak penegak hukum yang lebih berwenang,” terangnya.
Ia juga menambahkan, politik uang merupakan ancaman serius terhadap integritas pemilihan di Aceh. Praktik ini akan merusak demokrasi dan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik yang ada, karena transaksi suara yang melibatkan imbalan materi pada dasarnya merupakan bentuk penipuan terhadap publik.
Sebagai bentuk pencegahan, penting untuk meningkatkan kesadaran di tengah-tengah masyarakat Aceh tentang bahaya politik uang dalam Pilkada.
“Lembaga penegak hukum dan lembaga pengawas Pemilu harus melakukan pengawasan yang ketat dan menindak tegas pelaku politik uang, apalagi pada malam menjelang pemilihan atau sering disebut Serangan Fajar, media massa juga harus berperan penting dalam memperkuat pengawasan terhadap praktik politik uang dalam Pilkada,” demikian Amriya. []